“Semua orang mengalami tragedi dalam hidupnya. Nggak semuanya besar menurut orang, tapi semuanya besar bagi yang mengalami.”
Emina, Mengandung Babi (hlm. 147)
(Catatan: Postingan ini penuh spoiler)
Jadi…
Sewaktu iseng mencari ‘Jakarta Sebelum Pagi’ di Google, aku menemukan link ke review buku tersebut yang kubuat lima tahun lalu—dan dari sana juga aku baru sadar sudah lima tahun sejak buku ini terbit. Kalau dibaca ulang, tulisanku itu masih khas ABG baru naksir orang banget. Impresiku soal Jakarta Sebelum Pagi saat itu masih terbatas di karakternya saja, aku belum terlalu memikirkan isi dari ceritanya. (Abel Fergani emang agak bikin gampang terdistraksi, sih). Aku bukan orang yang pandai menilai sesuatu dengan objektif kalau sudah menyukai sesuatu atau seseorang, terutama saat itu. Sebagai ~fans berat~ Ziggy, pandanganku mengenai bukunya mungkin terdengar bias. Aku tahu beberapa orang banyak meninggalkan buku-buku yang menemani mereka semasa anak-anak dan remaja, outgrowing things is something inevitable, especially when you have seen things without the lens of your favorite books. Aku pun, sudah berhenti membaca atau setidaknya memiliki pandangan yang berbeda mengenai buku-buku yang menemaniku waktu aku kecil. Kupikir, Jakarta Sebelum Pagi juga salah satunya.
Tapi, lima tahun kemudian, nyatanya Jakarta Sebelum Pagi masih jadi buku favoritku. Aku sudah berhenti menghitung berapa kali aku membaca ini (setidaknya buku ini kubaca satu minggu sekali sejak tahun 2018), dan masih menemukan sesuatu yang ‘baru’ tiap kali aku membacanya. And this is how I see the book and its characters now, five years later since its release.
Continue reading